Tak terasa perjalanan waktu berlalu demikian cepat. Tsunami yang menerjang pesisir Aceh kini tepat berusia delapan tahun.
Hari
Minggu sekitar pukul 08.15 WIB, pada 26 Desember 2004, gempa kuat
menguncang Aceh. Gempa pun ikut dirasakan di sejumlah daerah di
Indonesia dan negara tetangga.
Kalimat "Indonesia menangis" pun mulai kerap terdengar di telinga
setelah orang-orang menyaksikan tayangan televisi tentang dahsyatnya
kehancuran Aceh yang diterjang tsunami.
Ratusan ribu jiwa, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, kaya serta
miskin turut menjadi korban bencana alam yang sebelumnya tidak dikenal
di kalangan masyarakat Aceh.
Tsunami atau gelombang besar dengan ketinggian air laut bervariasi
antara setengan hingga dua meter menerjang Kota Banda Aceh, sebagian
Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie serta Aceh Utara.
Jangkauan air laut merambah daratan antara tiga hingga lima
kilometer dari pesisir pantai di sebagian wilayah di provinsi ujung
paling barat Indonesia itu.
Puing-puing kehancuran bangunan di mana-mana, mayat-mayat berserakan
dan rintihan anak manusia yang masih bernafas namun tak sanggup menahan
rasa sakit juga menjadi pemandangan hari-hari berselang tidak lama
tsunami datang.
Bala bantuan pun satu per satu tiba di Aceh. Tidak mengenal warna
kulit, suku, bahasa, dan agama, semuanya satu tujuan yakni membantu
masyarakat Aceh.
Bangsa-bangsa dari berbagai belahan bumi itu datang membawa pakaian,
pangan dan sandang serta obat-obatan. Rumah sakit lapangan berdiri
hampir setiap penjuru meski keadaan darurat.
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang yang
biasanya hanya melayani tiga penerbangan dari dan ke Banda Aceh, berubah
menjadi super sibuk. Puluhan pesawat antre untuk mendarat.
Barak darurat dan tenda-tenda pengungsi juga mulai dibangun dan
tersebar di ratusan titik untuk menampung keluarga dari korban bencana.
Masa rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami pun berjalan.
Membangun kembali berbagai infrastruktur, khususnya rumah yang menjadi
tempat tinggal bagi keluarga yang selamat dari tsunami.
Jalan-jalan utama kini telah beraspal hotmix dan tidak ada ruas
jalan desa yang tidak beraspal di kampung-kampung eks tsunami.
Sewindu tsunami
Kini sewindu sudah tsunami meluluhlantakkan Aceh. Rumah penduduk,
infrastruktur publik sudah dibangun, bahkan lebih baik dibanding
sebelumnya.
"Rumah memang sudah ada, sarana dan prasarana publik di gampong
(desa) lebih baik dibanding sebelum tsunami, tapi kami berharap generasi
mendatang tidak melupakan tragedi yang pernah kami alami itu," kata
Wahidi, salah seorang korban tsunami.
Artinya, ia menjelaskan semuanya itu bukan bertujuan membangkitkan
kembali luka akibat tsunami, tapi paling tidak diketahui generasi muda
kedepan sebagai media pengingat agar tetap waspada terhadap bencana.
"Sebagai umat Muslim tentunya kami berharap setiap tahun diadakan
kenduri sekaligus doa bersama agar para syuhada tsunami mendapat tempat
terbaik disisi Allah SWT, dan kita dihindari jangan sampai merasakan
bencana itu lagi," kata dia menambahkan.
M Iqbal, korban lainnya, juga berharap pemerintah memasukkan cerita
tentang tsunami Aceh menjadi salah satu pelajaran kearifan lokal di
sekolah-sekolah di provinsi ini.
Selain itu, juga perlu dipikirkan pembangunan sebuah kawasan untuk
ditempati benda-benda atau puing-puing peninggalan tsunami.
"Artinya, bisa aja dibangun seperti `desa tsunami` sebagai pengingat
kepada generasi muda bahwa daerahnya pernah dilanda bencana alam itu,
selain juga bisa dijadikan sebagai aset wisata di Aceh," kata dia.
Sebab, M Iqbal mengatakan masyarakat pesisir pantai melakukan
kegiatan tersendiri untuk mengenang setiap tahun bencana tsunami,
misalnya tahlilan, zikir dan doa di masjid atau meunasah desa
masing-masing.
Bagi masyarakat nelayan, mengenang peristiwa tsunami setiap 26
Desember itu dengan tidak melakukan aktivitas mencari nafkah selama
sehari.
"Sudah menjadi keharusan agar dipatuhi oleh nelayan Aceh untuk tidak
melaut sehari pada setiap 26 Desember termasuk tahun ini," kata Ketua
Lembaga Hukom Adat Laot atau Panglima Laot Aceh T Bustamam.
Pantang melaut sehari khususnya pada setiap 26 Desember itu untuk
mengenang keluarga dan sahabat nelayan yang telah menjadi korban bencana
tsunami.
"Mari kita gunakan waktu pada hari itu untuk berzikir dan berdoa
kepada Allah SWT agar arwah para syuhada tsunami mendapat tempat layak
di sisi-Nya dan kita yang masih hidup dihindarkan dari musibah," kata
dia.
Tsunami 26 Desember 2004 merupakan bencana dahsyat dialami
masyarakat Aceh terutama penduduk di pesisir pantai di delapan
kabupaten/kota dan mengakibatkan sekitar 200.000 warga hilang dan
meninggal dunia.
"Sebagian besar dari syuhada tsunami itu menjadi korban karena
dinyakini minimnya pengetahuan mereka terhadap bencana tersebut," kata
Sekjen Lembaga Hukum Adat Laot atau Panglima Laot Aceh Umar Abdul Aziz.
Dia menjelaskan, kebijakan libur pada 26 Desember juga sudah
diterapkan oleh Pemerintah Aceh pada 2011 dengan menetapkan tanggal itu
sebagai hari libur daerah.
"Kita berharap kebijakan yang bernilai edukatif ini dapat
dipertahankan. Melalui peringatan tsunami kita tidak hanya berkesempatan
mendoakan orang-orang yang menjadi korban, tapi juga dapat mewariskan
pengetahuan kepada generasi muda tentang peristiwa itu," kata dia.
Selain itu libur daerah pada setia 26 Desember sekaligus
menghidupkan kearifan generasi selanjutnya lebih siap dan mengetahui
tindakan apa saja perlu dilakukan agar terhidar dari dampak bencana yang
mungkin timbul.
Mengenang tsunami setiap 26 Desember itu bukan berarti membangkitkan
kembali luka lama, tapi sebagai pembelajaran agar generasi Aceh
mendatang mengetahui jika di daerahnya pernah hancur akibat bencana
tersebut.
Editor: Ella Syafputri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar