Istana Lima Laras Peninggalan Sejarah Yang Hampir Terabaikan
Inilah Istana
Niat Lima Laras. Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir.
Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya tidak sebesar
dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun pada tahun
1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan bangsa
Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat Melayu
ketika itu.
Mengunjungi dan
melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu
Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh
nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca
negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Menuju Istana Lima
Laras butuh waktu lebih kurang 3 jam dari pusat Kota Medan, atau lebih kurang
120 km melalui jalan darat Medan menuju Kabupaten Batubara. Sesampainya disana,
kami pun bertemu dengan Amirsyah (35) suami dari Syamsiah (33)) anak ke 2 dari
Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan pemangku adat Melayu Istana Lima
Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah adalah cucu dari pendiri Istana Lima
Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII dari
Kerajaan Lima Laras. Singkat cerita, sejarah dan awal berdirinya Istana Lima
Laras inipun semakin seru untuk ditelusuri.
Sesuai dengan
namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram,
Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun
Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman
saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana
yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius
sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .
Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah
menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka.
Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat
memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan
hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia.
Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat mengagumkan. Hampir
keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu.
Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan
karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Secara geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah
Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah
mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar
di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana
ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat
bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar
dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan
untuk para tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga
jangan heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak
pintu dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di
Istana ini.
Untuk melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana
Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk
Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat
sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat
begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah menggunakan model dari Eropa.
Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah
keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung
ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga
putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang sudah rusak dan patah.
Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar Istana. "Konidisi istana
memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga
kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah
Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah
kepada Medan Bisnis.
Padahal upaya melestarikan istana sangat penting
mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak
dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga
ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih Terakhir
kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena kondisi
keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang,
Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha
lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa
harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72)
cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang
pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya.
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah
barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di
rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras
sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian
belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di
bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya,
demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu
pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut,
biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah
lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya
perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin.
.
Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada.
Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan
kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen
China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu
didatangkan dari luar negeri.
Istana Lima
Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda,
Raja ke XIII dari Kerajaan Lima Laras
yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun
Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya
pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah
putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra.
Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI,
dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat
Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk
mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya
pusat pemerintahan, sering berpindah-pindah karena belum punya istana
yang permanen.
Niat Datuk
Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang
para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap
berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu
saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya
sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya
larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita
Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang
dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan
membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian
membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung
pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan
Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan
istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana
sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya
pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima
Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.
Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan
keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima,
Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula,
diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan
Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik
di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum
nasionalis dan bala tentara Jepang.
Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara
Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang.
Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung
rakyat menentang Belanda.
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan
rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku
Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.
Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di
kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang.
Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat
dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh
seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam
Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa
gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan
ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif
Nasution.
Inilah peninggalan raja-raja tempo dulu, yang kini sulit dilestarikan, karena
pemerintah sama sekali kurang memerhatikan cagar budaya nasional. Budaya,
sesungguhnya bisa dijual untuk kepentingan bangsa dan negara, lewat wisata
budaya yang ditinggalkan para sultan atau raja-raja tempo doeloe.
Namun kini istana Lima Laras keadaannya semakin buruk. Pemerintah pusat diharapkan dapat memperhatikan keadaan Istana Lima
Laras yang berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten
Batu Bara, Sumatera Utara, yang bangunannya hampir roboh karena tidak
pernah mendapat perawatan.
sumber :
http://bingkaisumatera.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html